Persalinan waterbirth adalah metode melahirkan bayi dengan menggunakan kolam yang terisi air sebagai tempat persalinannya. Prosesnya mirip persalinan normal di tempat tidur pada umumnya, hanya yang berbeda adalah penggunaan kolam sebagai pengganti tempat tidurnya.
Metode seperti ini pernah disukai karena dianggap dapat mengurangi nyeri yang dirasakan Ibu sewaktu bersalin. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir metode ini ternyata menimbulkan banyak tantangan karena banyaknya risiko yang akan ditempuh, sehingga banyak Ibu dianjurkan untuk menghindarinya.
Menurut penelitian yang diterbitkan di National Library of Medicine, metode waterbirth pernah disukai karena efek dari media air yang digunakannya. Dengan berada di dalam kolam berisi air, Ibu ternyata lebih mudah bergerak, sehingga mengurangi stres yang Ibu rasakan selama melahirkan. Kemudahan bergerak ini membantu interaksi antara hormon-hormon tertentu selama proses persalinan, sehingga mengurangi nyeri yang dirasakannya.
Penelitian tersebut juga menyebutkan, air sebagai media yang digunakan juga meningkatkan oksigen di dalam rahim. Janin lebih mudah bernafas karena akan menerima cukup oksigen, sehingga seharusnya mengurangi kemungkinan terjadinya gagal nafas yang dapat terjadi dalam persalinan.
Suhu air yang hangat juga akan mengurangi tekanan darah yang cenderung meningkat pada waktu persalinan. Tekanan darah yang normal memudahkan rahim mampu menerima oksigen yang dibutuhkan, dan akan memudahkan proses kontraksi rahim tersebut.
Dengan alasan-alasan tadi, maka waterbirth pernah dipandang sebagai metode persalinan yang akan disukai Ibu dan diharapkan mengurangi komplikasi yang dapat timbul. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya, mulai bermunculan pendapat dari para ahli yang cenderung menganggap waterbirth tidak direkomendasikan, karena risiko persalinan yang mungkin saja akan terjadi.
Melahirkan seorang anak dari perut Ibu yang sedang hamil pada dasarnya merupakan tindakan yang penuh tantangan, meskipun persalinan ini dilakukan secara normal (atau melalui vagina tanpa pemberian obat-obatan). Berikut ini beberapa tantangan dalam persalinan normal ketika dilakukan secara waterbirth:
Pada proses persalinan secara normal, seorang bayi umumnya belum bernafas selama tali pusarnya belum lahir. Dokter atau bidan yang menolong persalinan memiliki kesempatan yang singkat untuk membersihkan hidung dan mulutnya dari cairan ketuban yang mengelilinginya, agar ketika bayi ini dilepaskan dari tali pusarnya, ia dapat langsung bernafas.
Tetapi karena tubuh bayi masih berada di kolam, ini malah mempersulit gerakan penolongnya untuk melakukan upaya pembersihan tersebut. Bayi akan mudah tersedak oleh air kolam, sehingga malah akan dapat mempersulitnya bernafas.
Tali pusar merupakan organ bayi yang perlu dipertahankan utuh sejak bayi dalam kandungan hingga bayi lahir, karena organ ini menjadi alat bernafas bayi. Pada persalinan normal, umumnya kepala bayi dibersihkan segera begitu keluar dari vagina Ibu selama beberapa detik, lalu tali pusarnya dipotong dan ia akan dapat bernafas dengan baik.
Namun proses waterbirth akan membuat penolong persalinan harus bergerak jauh lebih cepat untuk mengeluarkan bayi, karena mereka harus mencegah bayi dari tersedak air kolam. Gerakan yang lebih cepat ini sangat berisiko menyebabkan tali pusar menjadi robek atau putus. Bayi dapat kekurangan oksigen karena ia hanya memperoleh oksigen dari organ ini, sehingga ini dapat mengurangi oksigen menuju otaknya pula dan menyebabkan sel otaknya menjadi rusak.
Kehamilan pada usia sekitar 39-40 minggu dapat mengubah pencernaan janin, sehingga janin akan mengeluarkan kotoran tertentu yang disebut mekonium. Mekonium ini mengandung bakteri dan akan mencemari ketuban. Mekonium dapat terlihat dalam proses persalinan, di mana ketuban Ibu menjadi berwarna kehijauan atau cenderung hitam. Bakteri dalam mekonium akan dapat menginfeksi bayi.
Waterbirth dapat menyulitkan penolong untuk mencegah bayi dari infeksi ini karena mekonium baru terlihat saat ketuban Ibu keluar dan telah bercampur dengan air kolam. Apabila bayi dilahirkan dalam kolam, maka bayi akan terpapar mekonium tersebut dan terinfeksi.
Meskipun semua rumah sakit dapat melakukan persalinan secara normal, tetapi tidak semua lembaga ini dapat melakukannya menggunakan metode waterbirth.
Penyebabnya, waterbirth tidak hanya memerlukan kolam khusus untuk sebagai lokasi untuk melahirkan bayi, tetapi juga memerlukan kesiapan unit perawatan khusus untuk mengantisipasi komplikasi yang dapat terjadi akibat waterbirth. Komplikasi seperti bayi yang kesulitan bernafas setelah lahir akan membuat rumah sakit harus menyiapkan alat berupa ventilator untuk menolongnya sesegera mungkin.
Infeksi yang terjadi karena bayi menelan mekonium dapat menyebabkan perawatan yang cukup lama bagi bayi, dan akan dibutuhkan sumber daya yang cukup besar untuk ini. Demikian pula apabila bayi mengalami cedera pada sel-sel otaknya, akan diperlukan pemantauan lebih ketat dari ahli neonatologi yang belum tentu tersedia setiap saat.
Dengan begitu banyaknya risiko yang dapat timbul akibat waterbirth ini, menyebabkan banyak rumah sakit di Indonesia belum bersedia memenuhi permintaan para Ibu hamil yang ingin melahirkan menggunakan metode ini. Ini cukup kontras dengan banyaknya klinik di luar negeri yang telah bersedia melakukan metode waterbirth, karena mereka juga telah menyediakan unit perawatan khusus yang dibutuhkan untuk mengantisipasi komplikasi yang sewaktu-waktu dapat timbul.
Ibu, sangat wajar apabila Ibu berkeinginan melahirkan melalui waterbirth untuk menghindari rasa sakit yang akan Ibu rasakan ketika melahirkan. Tetapi jika Ibu belum dapat melahirkan dengan waterbirth, Ibu dapat berusaha agar Ibu tidak sampai harus menggunakan obat-obatan untuk memperlancar persalinan yang seharusnya dapat berjalan normal.
Caranya adalah dengan melakukan induksi alami, yang dapat dilakukan melalui olahraga dan pijat akupresur. Penasaran tentangnya, kan? Yuk, pahami tentang induksi alami ini pada halaman berikut: Cara Induksi Alami agar Melahirkan Tepat Waktu
Referensi: